Senin, 23 Januari 2012

KRITIK TERHADAP BEBERAPA PASAL DALAM UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2004

By : Ahmad Shofin Nuzil, SH

Bicara tentang kekuasaan kehakiman, tidak dapat dipisahkan dari pembentukan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman. Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman harus tunduk pada undang-undang. Dalam memeriksa dan menjatuhkan putusannya, hakim harus memprosesnya sesuai dengan undang-undang, tidak boleh melanggar undang-undang. Pembentukan undang-undang atua undang-undang itu sendiri besar pengaruhnya terhadap perilaku hakim, karena hakim harus mengadili sesuai dengan undang-undang dan tidak boleh melanggar undang-undang, hakim terikat pada undang-undang.

Kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang no.4 tahun 2004. pasal 1 undang-undang no.4 tahun 2004 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum republik indonesia. Ini berarti bahwa hakim itu bebas dari tekanan pihak manapun dan bebas menentukan hukum dan keadilannya. Akan tetapi kebebasannya tidak berlaku mutlak, bukan tanpa batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sitem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Sedangkan dari segi mikro dibatasi oleh pancasila, undang-undang dasar, undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kekuasaan kehakiman bukan tanpa alasan, hal itu dilakukan untuk mengurangi kekeliruan dan kesalahan dalam menjatuhkan suatu putusan, maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.

Pasal 2 undang-undang no.4 tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pasal 11 undang-undang no.4 tahun 2004 menyatakan bahwa MA merupakan peradilan tertinggi dari keempat lingkungan peradilan. Sedangkan pasal 12 menyebutkan MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir., maka tidak ada upaya hukum sama sekali. Semua lingkungan peradilan dibawah MA tersedia upaya hukum, sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua dilingkungan dibawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi. Dengan tidak adanya pengawasan, maka kekuasaan MK adalah mutlak, sistem ini tidak memenuhi asas peradilan yang baik.
Pasal 19 undang-undang no.4 tahun 2004 ayat (3) menyebutkan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedangkan ayat (5) menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Pendapat majelis hakim di dalam sidang musyawarah mungkin selalu sama, perbedaan selalu mungkin terjadi. Di waktu yang lampau maka perbedaan pendapat itu dilaporkan kepada ketua pengadilan negeri. Putusannya merupakan mufakat bulat, jadi keluarnya putusan itu tidak meragukkan dan membingungkan.
Kalau musyawarah itu bersifat rahasia dan putusan pada waktu dijatuhkan dilampiri pendapat yang berbeda, yang dibicarakan dalam musyawarah yang rahasia itu, dimana sifat rahasia dan mufakatnya tersebut. Disamping itu dilampirkannya putusan dari hakim yang berbeda dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum (sah?) apakah tidak membingungkan? Satu putusan mengandung 2 pendapat yang berbeda. Putusan yang mengandung dua “dictum” akan menimbulkan suatu reaksi dari pihak yang kalah untuk menggunakan upaya hukum. Walaupun tanpa adanya pendapat hakim yang berbeda itu boleh boleh dikatakan pihak yang kalah selalu menggunakan upaya hukum, hanya alasannya disini adalah untuk mengulur waktu.
Untuk meningkatkan pembaharuan hukum pada umumnya, dan kekuasaan kehakiman pada khususnya, guna meningkatkan supremasi hukum tidaklah cukup dengan memperbaiki hukumnya dengan mengubah atau merevisi undang-undangnya. Tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan SDM dari unsur legilatif,eksekutif, dan yudikatif dari segi intelektual maupun moral

Tidak ada komentar:

Posting Komentar