PERAN KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI SALAH SATU DASAR
PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM
Oleh
:
Ahmad Shofin Nuzil, SH.
Perkosaan adalah hubungan
sosial yang dilakukan tanpa kehendak bersama yang di paksakan oleh salah satu
pihak kepada pihak lain. Korban dapat berada dalam ancaman fisik maupun
psikologis, kekerasan, dalam keadaan sadar maupun tidak sadar/tidak berdaya,
berada dibawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi
kecacatan lain sehingga tidak dapat menolak apa yang terjadi, tidak mengerti atau
tidak dapat bertanggungjawab atas apa yang terjadi padanya.
Perkosaan pada tindakan
pseudo-seksual dapat diartikan merupakan perilaku seksual sebagai motivasi
primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan dominasi, agresi dan
perendahan pada satu pihak ( korban )
oleh pihak lain ( pelaku ). Pada
kasus perkosaan ekspresi kemarahan, keinginan menguasai dan melumpuhkan serta
keinginan menghukum dan merendahkan lebih dominan dari pada dorongan seksualnya
sendiri yang semuanya di manifestasikan dalam tindakan agresi seksual.
Perkosaan dapat terjadi pada
siapa saja dan dilakukan oleh siapa saja, baik oleh orang yang dikenal maupun
oleh orang yang tidak dikenal. Perkosaan tidak jarang dilakukan oleh orang –
orang yang dikenal dengan baik. Bahkan berada dalam hubungan dekat dengan
korban. Misalnya : saudara ipar, ayah tiri, pacar, bekas suami, guru pada
muridnya bahkan ayah kandung sendiri dan lain sebagainya.
Bahkan kejahatan ( perkosaan ) adalah suatu interaksi
karena adanya hubungan antara fenomena yang ada saling mempengaruhi. Pelaku dan
korban kejahatan berkedudukan sebagai pertisipan yang terlihat secara aktif
atau pasif dalam suatu kejahatan masing – masing memainkan peran yang penting
dan menentukan. Korban membentuk perilaku kejahatan dengan sengaja atau tidak
sengaja berkaitan dengan situasi dan kondisi masing – masing ( relative ).
Peranan pihak korban yang
mempengaruhi terjadinya kejahatan dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu
:
1.
Korban Aktif ( active role ), yang meliputi :
a.
menciptakan atau memancing
kejahatan ( creative crime )
b.
memberantas kejahatan ( cobating crime )
c.
merangsang kejahatan ( recuding crime )
2.
Korban Pasif ( pasive role ), yang meliputi :
a.
karena tidak sadar
b.
karena tidak mampu berbuat
Peranan korban ini mempunyai
akibat dan pengaruh pada diri korban dan pihaknya, pihak lain serta lingkungan
sekitar. Antara pihak korban dan pelaku terdapat hubungan fungsional. Pihak
korban dapat berperan dalam keadaan sadar maupun tidak sadar, langsung atau
tidak langsung, sendiri atau bersama – sama, bertanggungjawab atau tidak
bertanggungjawab, aktif atau pasif dengan motivasi positif atau negatif.
Semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut
berlangsung.
Pihak korban sebagai partisipan utama dalam
terjadinya kejahatan memainkan berbagai macam peranan yang dibatasi oleh
situasi dan kondisi tertentu. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan secara
tajam setiap peran yang dimainkan oleh korban. Situasi dan kondisi pihak pelaku
dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan tindakan, tidan berkemauan atau
rela untuk menjadi korban. Situasi dan kondisi yang pada dirinyalah yang
mendorong pihak lain melakukan suatu kejahatan, karena kerap sekali antara
pihak pelaku dengan pihak korban tindakan terdapat hubungan lebih dahulu bisa
juga antara pihak korban dan pihak pelaku mungkin sudah pernah ada hubungan.
Hubungan
dapat terjadi karena faktor saling mengenal, sehingga pihak pelaku memanfaatkan
pihak korban untuk memenuhi kepentingan dan keinginannya berdasarkan motivasi
dan rasionalisasi tertentu, bahkan sering terjadi langkah yang diambil pelaku
menganggap dan melegitimasikan tindakan jahatnya atas motivasi dan
rasionalisasi tersebut.
Begitu juga yang menjadi
pertimbangan hakim bahwa segala apa yang menjadi perilaku korban serta apa yang
telah diperbuat oleh seorang pelaku dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim
dalam mengambil keputusan. Dalam memutuskan suatu perkara pengadilan memang
sudah semestinya para hakim yang menjadi penentu dalam perkara tersebut harus
melihat peristiwa hukum itu dari berbagai aspek, tidak hanya dilihat dari isi
pasal – pasal yang dijadikan dasar tuntutan atau dakwaan pihak penuntut umum.
Perilaku korban perkosaan
sebelum terjadinya korban perkosaan perlu kiranya juga dijadikan bahan kajian
dan pertimbangan dalam sebuah putusan akhir dalam peradilan. Pihak korban dari
kalangan keluarga mana, apa aktifitas sehari – harinya, tingkat pendidikan,
bahkan apakah pihak dalam keadaan sehat terutama kesehatan rohaninya. Jadi
latar belakang korban perlu kiranya diketahui hakim tentunya melalui prosesi
persidangan yang berlangsung. Disini penting kiranya peran korban kejahatan
perkosaan itu untuk selalu aktif dalam prosesi persidangan karena berkaitan
dengan penilaian hakim untuk dijadikan pertimbangan dalam putusan akhirnya.
Dalam konteks hukum pidana
menurut Choirul Huda, suatu perbuatan
baru dapat dikatakan tindak pidana, jika berbuatan itu juga bersifat melawan
hukum. Hal demikian bukan berarti tindak pidana yang tidak memuat ketentuan
perkataan melawan hukum tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat melawan
hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain. Dengan demikian
perkataan melawan hukum dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana.
Begitu pula dengan tindak
kejahatan perkosaan, yang selama ini kadangkala penegak hukum tidak jarang
kesulitan membuktikan dan mencari alat maupun barang bukti untuk kasus
tersebut, apakah tindakan kejahatan itu benar –benar tindak kejahatan perkosaan
atau bukan, apalagi pelaku kejahatan dan korban adalah keduanya sama – sama
tidak mempunyai ikatan perkawanan ( antara pihak yang masih perawan dan pihak
lain yang masih jejeka ), yang sampai saat ini regulasi yang mengatur tentang
itu belum ada.
Tindak pidana perkosaan dapat
dijerat dengan menggunakan pasal 285 KUHP, pelaku juga dijerat dengan pasal 289
KUHP tentang perbuatan cabul, karena apabila unsur pasal 285 KUHP tidak
terpenuhi, maka pasal 289 KUHP secara otomatis dijerat terhadap perkosaan. Jika korban masih dibawah umur atau anak-anak,
maka terhadap pelaku dapat dijerat dengan pasal 81 atau 82 Undang-undang
Perlindungan Anak. Dan jika pelaku dan korban masih dibawah umur terhadap
pelaku dapat dikenakan Undang-undang pengadilan anak. Kejahatan timbul bukan karena ada niat dari pelaku
melainkan karena adanya kesempatan untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar