Senin, 09 Juli 2012


PERAN KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI SALAH SATU DASAR
PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM
Oleh :
Ahmad Shofin Nuzil, SH.

Perkosaan adalah hubungan sosial yang dilakukan tanpa kehendak bersama yang di paksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lain. Korban dapat berada dalam ancaman fisik maupun psikologis, kekerasan, dalam keadaan sadar maupun tidak sadar/tidak berdaya, berada dibawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain sehingga tidak dapat menolak apa yang terjadi, tidak mengerti atau tidak dapat bertanggungjawab atas apa yang terjadi padanya.
Perkosaan pada tindakan pseudo-seksual dapat diartikan merupakan perilaku seksual sebagai motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan dominasi, agresi dan perendahan pada satu pihak ( korban ) oleh pihak lain ( pelaku ). Pada kasus perkosaan ekspresi kemarahan, keinginan menguasai dan melumpuhkan serta keinginan menghukum dan merendahkan lebih dominan dari pada dorongan seksualnya sendiri yang semuanya di manifestasikan dalam tindakan agresi seksual.
Perkosaan dapat terjadi pada siapa saja dan dilakukan oleh siapa saja, baik oleh orang yang dikenal maupun oleh orang yang tidak dikenal. Perkosaan tidak jarang dilakukan oleh orang – orang yang dikenal dengan baik. Bahkan berada dalam hubungan dekat dengan korban. Misalnya : saudara ipar, ayah tiri, pacar, bekas suami, guru pada muridnya bahkan ayah kandung sendiri dan lain sebagainya.
Bahkan kejahatan ( perkosaan ) adalah suatu interaksi karena adanya hubungan antara fenomena yang ada saling mempengaruhi. Pelaku dan korban kejahatan berkedudukan sebagai pertisipan yang terlihat secara aktif atau pasif dalam suatu kejahatan masing – masing memainkan peran yang penting dan menentukan. Korban membentuk perilaku kejahatan dengan sengaja atau tidak sengaja berkaitan dengan situasi dan kondisi masing – masing ( relative ).
Peranan pihak korban yang mempengaruhi terjadinya kejahatan dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu :

1.      Korban Aktif ( active role ), yang meliputi :
a.       menciptakan atau memancing kejahatan ( creative crime )
b.      memberantas kejahatan ( cobating crime )
c.       merangsang kejahatan ( recuding crime )
2.      Korban Pasif ( pasive role ), yang meliputi :
a.       karena tidak sadar
b.      karena tidak mampu berbuat
Peranan korban ini mempunyai akibat dan pengaruh pada diri korban dan pihaknya, pihak lain serta lingkungan sekitar. Antara pihak korban dan pelaku terdapat hubungan fungsional. Pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar maupun tidak sadar, langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama – sama, bertanggungjawab atau tidak bertanggungjawab, aktif atau pasif dengan motivasi positif atau negatif. Semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut berlangsung.
Pihak korban sebagai partisipan utama dalam terjadinya kejahatan memainkan berbagai macam peranan yang dibatasi oleh situasi dan kondisi tertentu. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan secara tajam setiap peran yang dimainkan oleh korban. Situasi dan kondisi pihak pelaku dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan tindakan, tidan berkemauan atau rela untuk menjadi korban. Situasi dan kondisi yang pada dirinyalah yang mendorong pihak lain melakukan suatu kejahatan, karena kerap sekali antara pihak pelaku dengan pihak korban tindakan terdapat hubungan lebih dahulu bisa juga antara pihak korban dan pihak pelaku mungkin sudah pernah ada hubungan.
            Hubungan dapat terjadi karena faktor saling mengenal, sehingga pihak pelaku memanfaatkan pihak korban untuk memenuhi kepentingan dan keinginannya berdasarkan motivasi dan rasionalisasi tertentu, bahkan sering terjadi langkah yang diambil pelaku menganggap dan melegitimasikan tindakan jahatnya atas motivasi dan rasionalisasi tersebut.
Begitu juga yang menjadi pertimbangan hakim bahwa segala apa yang menjadi perilaku korban serta apa yang telah diperbuat oleh seorang pelaku dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam memutuskan suatu perkara pengadilan memang sudah semestinya para hakim yang menjadi penentu dalam perkara tersebut harus melihat peristiwa hukum itu dari berbagai aspek, tidak hanya dilihat dari isi pasal – pasal yang dijadikan dasar tuntutan atau dakwaan pihak penuntut umum.
Perilaku korban perkosaan sebelum terjadinya korban perkosaan perlu kiranya juga dijadikan bahan kajian dan pertimbangan dalam sebuah putusan akhir dalam peradilan. Pihak korban dari kalangan keluarga mana, apa aktifitas sehari – harinya, tingkat pendidikan, bahkan apakah pihak dalam keadaan sehat terutama kesehatan rohaninya. Jadi latar belakang korban perlu kiranya diketahui hakim tentunya melalui prosesi persidangan yang berlangsung. Disini penting kiranya peran korban kejahatan perkosaan itu untuk selalu aktif dalam prosesi persidangan karena berkaitan dengan penilaian hakim untuk dijadikan pertimbangan dalam putusan akhirnya.
Dalam konteks hukum pidana menurut Choirul Huda, suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak pidana, jika berbuatan itu juga bersifat melawan hukum. Hal demikian bukan berarti tindak pidana yang tidak memuat ketentuan perkataan melawan hukum tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain. Dengan demikian perkataan melawan hukum dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana.
Begitu pula dengan tindak kejahatan perkosaan, yang selama ini kadangkala penegak hukum tidak jarang kesulitan membuktikan dan mencari alat maupun barang bukti untuk kasus tersebut, apakah tindakan kejahatan itu benar –benar tindak kejahatan perkosaan atau bukan, apalagi pelaku kejahatan dan korban adalah keduanya sama – sama tidak mempunyai ikatan perkawanan ( antara pihak yang masih perawan dan pihak lain yang masih jejeka ), yang sampai saat ini regulasi yang mengatur tentang itu belum ada.
Tindak pidana perkosaan dapat dijerat dengan menggunakan pasal 285 KUHP, pelaku juga dijerat dengan pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul, karena apabila unsur pasal 285 KUHP tidak terpenuhi, maka pasal 289 KUHP secara otomatis dijerat terhadap perkosaan. Jika korban masih dibawah umur atau anak-anak, maka terhadap pelaku dapat dijerat dengan pasal 81 atau 82 Undang-undang Perlindungan Anak. Dan jika pelaku dan korban masih dibawah umur terhadap pelaku dapat dikenakan Undang-undang pengadilan anak. Kejahatan timbul bukan karena ada niat dari pelaku melainkan karena adanya kesempatan untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar